photo dirumah-nurina-merah-468.gif

Friday, April 17, 2015

Kisah Merbuat Masjid

(Kisah nyata dari Masjid di Puncak, Bogor) Ada dua sahabat yg terpisah cukup lama; Ahmad dan Zaenal. Ahmad ini pintar sekali. Cerdas. Tapi dikisahkan kurang beruntung secara ekonomi. Sedangkan Zaenal adalah sahabat yang biasa2 saja. Namun keadaan orang tuanya mendukung karir dan masa depan Zaenal. Setelah terpisah cukup lama, keduanya bertemu. Bertemu di tempat yang istimewa; yakni koridor wudhu &toilet sebuah masjid megah dengan arsitektur yang cantik, yang memiliki view pegunungan dengan kebun teh yang terhampar hijau di bawahnya. Sungguh indah mempesona. Kala itu Zaenal, sudah menjadi seorang manager perusahaan cukup besar. Selalu necis. Perlente tetapi tetap istiqomah menjaga kesalehannya. Setiap keluar kota, selalu ia sempatkan singgah di masjid di kota yang ia singgahi. Tujuannya untuk sholat fardhu, sekedar untuk memperbaharui wudhu dan sujud syukur, atau hanya untuk shalat sunnah tambahan. Ketika melihat Masjid indah di daerah Puncak, Bogor, ia pinggirkan mobilnya dan bergegas masuk ke dalamnya. Di sanalah ia menemukan Ahmad sahabatnya dulu. Betapa kaget Zaenal melihat Ahmad yang sekarang. Dulu sahabatnya ini meski berasal dari keluarga tak punya, tapi cerdas dan pintarnya minta ampun. Zaenal tidak menyangka bila berpuluh tahun kemudian ia menemukan Ahmad sebagai merbuat masjid..! “Maaf,” katanya menegor sang merbuat. “Kamu Ahmad kan? Ahmad kawan SMP saya dulu?”. Yang ditegor tidak kalah mengenali.  Lalu keduanya berpelukan. Puji Ahmad, “Keren sekali Kamu ya Mas… Manteb…”. Karena Zaenal masih dalam keadaan memakai dasi. Lengan yang digulungnya untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam bermerknya terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”. Zaenal merendahkan hati. Zaenal merasa iba melihat Ahmad yang sedang memegang kain pel, celana digulung, dan peci didongakkan sehingga jidatnya yg lebar dan hitam bekas sujud terlhat jelas. “Mad… Ini kartu nama saya…”. Ahmad melihat. “Manager Area…”. Wuah, bener2 keren." “Mad, nanti habis saya shalat, kita ngobrol ya. Maaf, kalau kamu berminat, di kantor saya ada pekerjaan yang lebih baik dari sekedar merbot di masjid ini. Ahmad tersenyum. Ia mengangguk. “Terima kasih ya… Nanti kita ngobrol. Selesaikan saja dulu shalatnya. Saya pun menyelesaikan pekerjaan bersih2 dulu… Silahkan ya. Yang nyaman”. Sambil wudhu, Zaenal tidak habis pikir. Mengapa Ahmad yg pintar, kemudian harus terlempar dari kehidupan normal. Ya, meskipun tidak ada yg salah dengan  pekerjaan sebagai merbot, tapi merbot… ah, pikirannya tidak mampu membenarkan.  Zaenal menyesalkan kondisi negerinya ini yang tidak berpihak kepada orang2 yang sebenernya memiliki talenta dan kecerdasan, namun miskin.  Air wudhu membasahi wajahnya… Sekali lagi Zaenal melewati Ahmad yg sedang membersihkan lantai toilet. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di perkantoran, maka sebutannya bukan merbuat. Melainkan “office boy”. Singkat cerita ada yg shalat di belakang Zaenal. Sama2 shalat sunnah agaknya.  Ya, Zaenal sudah shalat fardhu di masjid sebelumnya.   Zaenal menyelesaikan doanya secara singkat. Ia ingin segera bicara dengan Ahmad. “Pak,” tiba2 anak muda yang shalat di belakangnya menegur. Anak ini rupanya tadi sempat memperhatikan obrolannya dengan Ahmad di tempat wudhu. “Iya Mas..?”  “Pak, Bapak kenal emangnya sama bapak Insinyur Haji Ahmad…?”  “Insinyur Haji Ahmad…?”  “Ya, insinyur Haji Ahmad…”  “Insinyur Haji Ahmad yang mana…?”  “Itu, yang barusan ngobrol sama Bapak…”  “Oh… Ahmad… Iya. Kenal. Kawan saya dulu di SMP. Emangnya udah haji dia?”  “Dari dulu udah haji Pak. Dari sebelum beliau bangun ini masjid…”. Kalimat itu begitu datar. Tapi cukup menampar hati Zaenal… Anak muda ini kemudian menambahkan, “Beliau orang hebat Pak. Tawadhu’. Saya lah yang merbuat asli masjid ini. Saya karyawannya beliau. Beliau yang bangun masjid ini Pak. Di atas tanah wakafnya sendiri. Beliau bangun sendiri masjid indah ini, sebagai masjid transit mereka yang mau shalat. Bapak lihat mall megah di bawah sana? Juga hotel indah di seberangnya? … Itu semua milik beliau... Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di sini. Bahkan salah satu kesukaannya aneh, yaitu senang menggantikan posisi saya. Karena suara saya bagus, kadang saya disuruh mengaji dan azan saja…”. Entahlah apa yg ada di hati dan di pikiran Zaenal… ***** Bagaimana menurut kita ? Jika Ahmad itu adalah kita, mungkin begitu ketemu kawan lama yang sedang melihat kita membersihkan toilet, segera kita beritahu posisi kita siapa yang sebenernya.  Dan jika kemudian kawan lama kita ini menyangka kita merbot masjid,  maka kita akan menyangkal dan kemudian menjelaskan secara detail begini dan begitu. Sehingga tahulah kawan kita bahwa kita inilah pewakaf dan yang membangun masjid ini. Tapi kita bukan Haji Ahmad. Dan Haji Ahmad bukannya kita. Ia selamat dari rusaknya nilai amal, sebab ia tetap cool saja. Tenang saja. Adem. Haji Ahmad merasa tidak perlu menjelaskan apa2. Dan kemudian Allah yg memberitahu siapa dia sebenarnya... "Al mukhlishu, man yaktumu hasanaatihi kamaa yaktumu sayyi-aatihi"  (Org yg ikhlash itu adl org yg menyembunyikan kebaikan2nya, spt ia menyembunyikan keburukan2nya) (Ya'qub rahimaHullah, dlm kitab Tazkiyatun Nafs)

No comments: