photo dirumah-nurina-merah-468.gif

Thursday, September 13, 2007

Senin, 10 September 2007

Yaa ayyatuhan nafsul muthma’innah, irji’ii ila rabbiki raadhiyatam mardhiyyah. Fadkhulli fii ‘baadi wad khuli jannati
Wahai jiwa yang tenang kemballah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lag di ridhai-Nya, maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hamba ku dan masuklah ke dalam surga –Ku\
(QS. Al-Fajr (89) ayat 27 – 30)



Innaa Lillaahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun
Sesungguhnya kami adalah milk Allah dan kepada Nya kami kembali

Manusia hidup dan mati sudah ditentukan oleh Allah SWT. Jalan menuju kematian tiap manusia pun tidak pernah sama. Alhamdulillah almarhum papa (mertua) Djamadil Agus Alwi (74 tahun) boleh dibilang meninggal dengan tenang, cepat dan tidak terlalu menderita, menurut saya. Mungkin papa sendiri sebelumnya sudah menderita. Blio kesulitan bernafas dan terlihat sekali blio tidak bisa bernafas akibat asma akut yang dideritanya.

Senin malam saya dan Uni Anis sudah menuju rumah, di sekitar Lenteng Agung saya dengar Uni terima telpon dari rumah. "ada d lemari", kata uni sedikit kesal. Hhmm.. pasti papa pikir saya. Karena papa memang selalu mengandalkan uni jika ada apa-apa, terutama masalah obat-obatan. Saat itu mungkin dalam pikiran uni, papa mengada-ada lagi mengenai sesak nafas nya itu. Sepuluh menit kemudian, di telpon lagi dari rumah, uni masih menjawab seadanya "iya iya ini udah di margonda. Sabar dikit dong." Hhhm.. kalo memang uni bicara dengan papa, saya sempat ngebatin – uni sedikit kasar - :D tapi karena saya sendiri tahu bagaimana papa, jadi agak maklum. Papa itu sudah sedikit (atau banyak yah?) pikun. Dan keras kepala. Hmm… ketauan kan darimana sifat keras nya si abang turunan siapa? Saat itu di mobil, kami masih beranggapan bahwa papa hanya "sesak nafas" biasa, makanya blio ribut cari ventolin. Saya pun ngomong ke Uni, "sirup markisa uni yang buka bukan?" "Bukan", jawab uni. "Soalnya, baik abang maupun meli ga ada yg pernah minum sirup itu, tapi sekarang sudah mau habis." Tersangka utama tentu lah si papa. Yang memang suka minum dingin, tidak bisa dilarang, kalo pun di larang papa bilang "hanya minum sedikit". Jadi saat di mobil kami mengasumsi papa kambuh sesak nafas nya karena minum dingin. Sampai di komplek handphone uni berdering lagi "ya udah di komplek". Kata uni singkat. Huu.. kalo masih jauh gimana?, uni sedikit menggerundel.

Sampai di depan rumah papa sudah bergegas jalan menuju mobil dituntun oleh Bu Diah. Terlihat papa sudah panik, karena kesulitan bernafas. "Susah .. susah nafas..", kata papa terengah-engah. "Iya kita langsung ke rumah sakit, sabar", kata uni cepat. Saya pun ngikut lagi masuk ke dalam. "Papa duduk depan aja", kata papa. "Ehh.. jangan", sahut saya cepat, papa di belakang, meli yg di depan. Di dalam mobil papa duduk pegang jok depan, "susah susah nafas nya..", kata papa. "iya sabar, istighfar", kata uni lagi. Sambil bantu mengucapkan, astahfirullah al adziim. Terus di ulang-ulang. Saya bantu pegang tangan papa, seakan-akan ingin memberikan kekuatan kepada papa. Saya bingung harus ngapain lagi, melihat papa kesulitan bernafas. Saya hanya bisa berkata, sabar pa, istighfar. Sempat terucap oleh papa –sulit sulit sekali bernafas "pa, sabar pa". Uni mungkin tidak melihat ekspresi papa karena uni nyetir mobil. Tapi saya yang melihat muka papa, smakin tidak tega. Sabar pa, rumah sakit nya sudah dekat. Melihat papa yg seperti mau pingsan, saya langsung lompat ke belakang dan menangkap tubuh papa.

Di jalan tidak hentinya saya mengajak papa bicara dan dalam hati menyesali tidak ada pemisah jalan di depan RS Bunda Margonda. Kalaupun ada puteran sekitar 200 meter dari Bunda, itu pun tidak dapat digunakan karena dtutup. Buat apa ada puteran kalo ga bisa buat muter?? Jadi kami harus memutar diputaran UI. Ditambah kondisi jalan yang kurang ramah (jam nya orang pulang kantor). Ahh…

Papa sudah terdiam, saya melihat gigi papa sudah mengatup. Reflek saya coba masukkan jempol saya ke mulut papa, "pa, gigit jempol meli pa. gigit yang kenceng pa. gigit pa", sempat saya merasakan jempol saya digigit papa, sesaat. "pa, sabar pa, rumah sakit nya udah lewat, kita harus muter dulu. Pa. bangun pa. pa, besok papa antar nasta sekolah atau TPA yah pa. pa, inget nasta dan nara pa. pa, bangun pa." Saya coba memegang denyut nadi di pergelangan tangan papa, hanya rasa dingin dan justru degup jantung saya terdengar lebih kencang lagi. Saya terus ajak ngobrol papa, berusaha menghilangkan pikiran bahwa papa sudah tak bernyawa, berharap hanya pingsan. Tapi sempat juga saya melihat jam, seandainya benar papa sudah tak bernyawa saya bisa tahu perkiraan waktu nya. 8.29.

Sesampainya di RS Bunda, dengan bantuan orang-orang yang ada di sekitar UGD, papa diturunkan dari mobil. Saya mencoba mendorong papa, sudah berat. Tapi saya masih berharap. Seorang perawat di parkiran masih mengenali muka saya, saat Nara di rawat. Dengan cepat perawat UGD mengambil alih papa dan memasangkan selang oksigen, dokter jaga datang dalam hitungan detik. "Sudah tak ada denyut," katanya. Ayahnya kenapa? Kata dokter kepada kami. Sesak nafas, serangan asma. "punya sakit jantung?" "iya, pernah serangan jantung 4 – 5 bulan yang lalu." Dokter hanya diam lalu berkata ke perawatnya, kita coba EKG. Saya melihat air muka dokter, dan sepertinya saya sudah tahu apa yang terjadi. "papa ngompol dok," kata saya. Dokter hanya mengangguk. Dan kesimpulan dokter, papa sudah meninggal pada saat dibawa ke rumah sakit. Ya Allah, apakah benar dugaan saya tadi? Papa sekarat waktu di mobil tadi. Dan tidak ada yg bisa saya bantu untuk papa, meringankan sakit nya itu? Dan yg lebih sedih nya lagi, saya tidak membantu papa 'melepas kepergiannya' padahal saya berada tepat disamping papa. Karena saat itu saya masih berharap papa hanya pingsan dan akan segera sembuh.

Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik buat ummatNya. Allah tidak menginginkan papa tersiksa lebih lama. Dia menyegarakan sakit papa. Walaupun kepergian papa yang sangat cepat ini menyisakan penyesalan dihati kami, anak-anaknya. Kami masih kurang sabar dalam menghadapi tingkah laku papa, padahal kami menyadari kekurangan papa.

Pada saat papa pingsan di mobil, uni sudah telpon ke rumah. Menyuruh Ira dan mama segera ke rumah sakit. Terserah mau naik apa, harus segera. Abang masih dalam perjalanan saat itu, uni juga sudah telpon abang untuk segera langsung ke rumah sakit. Berkal-kali abang mencoba cari tahu, apa yang terjadi dengan papa. Saya hanya bisa bilang, sedang di observasi oleh dokter. Saya tidak mau bilang ke abang, kalo papa nya sudah meninggal. Supaya abang tidak terburu-buru ke rumah sakit. Mengingat abang itu orang nya panikan. Ira sms saya, memberitahu sudah menuju rumah sakit. Papa gimana? Itu pun tidak saya balas. Sesampainya ira d rumah sakit, dengan muka penuh pertanyaan ira menghampiri saya. Mama berjalan dibelakang. "Saya hanya bilang ke ira, pegangin mama Ir, papa udah ga ada" tak terbendung tangis ira dan mama yang mendengar kabar ini.

Saya mencoba tabah. Tapi setiap kali teringat "ya Allah, bentar lagi puasa. Ga disangka kejadian juga ke saya, merasakan puasa tanpa orang terkasih." Saya suka sedih, jika menjelang bulan Ramadhan melihat mobil jenasah lewat, saya selalu bertanya, mereka pasti sedih sekali yah? Bentar lagi mo puasa, di tinggal orang terkasih. Dan hal ini menimpa saya.

Alhamdulillah mama aktif di mesjid, jadi saat mama bilang, urusan rumah sudah di urus pihak mesjid. Alhamdulillah. Saya menemani papa saat sakratul maut menjemput, saya menemani papa saat pulang ke rumah untuk disemayamkan. Saya memang baru kurang dari 6 tahun mengenal blio, tapi papa adalah papa yang baik, opa yang sayang sekali dengan kedua cucu nya. Papa sangat concern jika anak-anak sakit, dia akan masuk ke kamar jika mendengar cucu nya batuk atau menangis. Dan pastinya ribut bertanya, sudah di kasih obat? Dan pertanyaan itu selalu diulang-ulang, dkarenakan kepikunan papa itu.

Sesampainya di rumah, Alhamdulllah semua sudah beres. Nasta blom tidur, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 malam. Dia melihat semua kesibukan orang-orang, dia melihat opa nya di taro di dipan. Tapi tidak sepatah katapun dia mengajukan pertanyaan. Aneh sebenarnya, karena Nasta selalu bertanya jika ada hal-hal yang diluar kewajaran. Nasta tidur pukul 11.30, saya pun mengantuk sekali. Tapi mata sulit sekali dipejamkan. Coba baca Yaasiin, tapi ntah kenapa air mata ini sulit sekali dihentikan. Akhirnya saya 'mungkin' tertidur sekitar pukul 3 pagi. Dan sudah bangun lagi pukul 5.15, karena jamaah shubuh mesjid Adz-Dzikri datang untuk mendoakan papa.

Alhamdulillah semua proses dari mulai memandikan, mengafani, menyembayangkan dan menguburkan berjalan lancar. Papa dikubur di atas kuburan Oma, ibunya. Mama bilang, papa meninggal tanggal 10 September, Oma meninggal tanggal 11 September 1978. Sepertinya papa memang mempersiapkan diri untuk bertemu ibu nya, Karena sore nya papa sempat cat rambut.

Alhamdulillah, banyak yang bilang papa meninggalnya bagus. Karena mendekati puasa. Saat terakhir melihat wajah papa, sambil terisak saya berkata dalam hati, papa sudah enak sekarang, tidak akan merasakan sesak nafas lagi.

Ahh… hari-hari tidak akan sama tanpa kehadiran papa d rumah. Tidak ada lagi yang bikin mama marah-marah / kesel, karena tingkah papa yang kadang memang bikin geleng-geleng kepala. Tdak ada lagi papa yang suka melucu / bercanda dengan pembantu rumah tangga. Tidak ada lagi yang buka kulkas tengah malam, mencari kudapan. Ahh… sedih sekali…

Papa, I am gonna miss u.