Suatu siang di dalam kereta ekonomi jurusan Bogor, saya di antara orang-orang yang mungkin bertujuan sama yakni pulang ke rumah. Tidak lah heran jika kereta api ekonomi ini diminati ratusan bahkan mungkin ribuan penumpang setia nya setiap hari, setiap jam. Dengan tariff Rp. 1.500 (Seribu Lima Ratus Rupiah Saja) dari stasiun Sudirman menuju Depok, harga tersebut tentu tidak sebanding dengan angkutan umum lain. Sebelumnya saya berpikir untuk naik taxi sampai Kuningan (dari suatu gedung di ujung jalan Sudirman), lalu naik Trans Jakarta sampai ujung Jl. Margasatwa, dilanjutkan dengan taxi. Karena saya terlalu lelah dan ditambah sakit perut karena penyakit bulanan. Dengan rencana semula, kemungkinan saya akan menghabiskan biaya sekitar Rp. 15.000 + Rp. 3.500 + Rp. 40.000 = Rp. 58.500 (itu biaya perkiraan, bisa lebih). Tapi saya penasaran dengan angkutan umum yang bernama Kereta Api ini, di tengah teriknya matahari pukul 1 siang saya berjalan kaki (IYA, JALAN KAKI) dari Wisma BNI menuju stasiun Sudirman. Pheww…. Tengah hari, panas terik, jalan kaki dengan jarak yang boleh dibilang lumayan jauh.. sambil ngebatin, apa yang kau cari Meli? Ditambah kondisi fisik yang kurang maksimal. Cape deh.
Tapi memasuki pintu masuk Stasiun itu, jiwa petualang saya mulai terusik, ciee.. saya sudah niat untuk naik kereta eksekutif. Tapi ternyata kalo siang hari, hanya ada kereta ekonomi. Tanpa perlu menunggu lama, saya pun memasuki kereta api yang siang itu dalam kondisi tidak terlalu ramai. Syukur lah, jadi saya bisa duduk dengan nyaman. Nyaman?? Hmmm… tidak lama setelah saya duduk, kereta api berjalan perlahan. Seorang penjual jepit menggantung dagangannya tepat di muka saya. Hhhmm.. seribu rupiah satu plastik. Mau jepitan, karet rambut, atau apapun. Sayang, walaupun kedua anak saya perempuan tapi mereka berdua tidak terlalu suka di ikat atau di jepit. Seorang mba-mba selisih duduk satu Ibu tua membeli lima macam jepit / ikat rambut. Ibu tua itu hanya membeli satu buah ikat rambut. Tak lama kemudian, seorang penjual buah – anggur dan kelengkeng – yang sudah di kemas dan dihargai Rp. 5.000 per kantong. Mba-mba itu pun membeli satu kantong anggur dan satu kantung kelengkeng. Buat oleh-oleh orang rumah mungkin, piker saya. Penjual minuman dingin, tukang Koran (psstt.. tips buat yang mau beli Koran pagi dengan harga murah, beli nya siang hari aja. Seribu rupiah saja kok.) Eh, ada penjual peniti, jarum, dan alat-alat lainnya lho.. (duh.. please deh Mel, Jangan norak gitu dong). Lalu, penjual buah Alpukat, Rp. 5.000 dapat 7 buah. Dan, mba-mba samping saya itu beli lho. Juga beli buah Jambu Biji (bagus untuk demam berdarah, promosi si abang). Wah.. mba ini sangat suka buah-buahan ternyata.
Menyadari bahwa mba-mba itu sudah memberikan kontribusi yang cukup besar untuk pedagang di kereta ini, saya pun berpikir, mba-mba ini memang membeli karena membutuhkan atau karena senang membeli (baca : konsumtif) atau apa yah??
Tak lama, seorang pedagang dompet / tempat pensil lewat, dan saya pun melirik pada sebuah tempat pensil gambar mobil merah, yang kebetulan Nasta lagi suka dengan si mobil merah ini. Daripada ga bawa apa-apa, saya pun membeli tempat pensil dengan harga Rp. 5.000 itu. Paling tidak, saya pun sudah memberikan kontribusi ke salah satu pedagang di kereta api ekonomi .