photo dirumah-nurina-merah-468.gif

Tuesday, March 31, 2015

Cinderella Eh.. Pangeran Kit

Hampir semua anak perempuan di dunia ini  tahu kisah Cinderella. Seorang anak yatim piatu yang hidup dengan ibu tiri dan kedua kakak tiri. Dengan akhir cerita yang membahagiakan, Cinderella menikah dengan sang Pangeran tampan. 

Duluuu... waktu saya kecil, pernah juga kok punya impian bertemu pangeran tampan dan diajak tinggal di istana. Hehehe... tapi ga mau punya ibu tiri dan kakak tiri yang jahat. Tahun 2015 ini Disney membuat film Cinderella, tapi bukan animasi. Versi orang alias manusia! Wow... 
Alhamdulillah saya punya anak-anak perempuan, jadi ada alasan untuk nonton hehehe... 

Kali pertama nonton, nemenin Nara yang sudah janjian dengan teman sekelasnya Karine. Awalnya saya hanya akan nitip Nara ke mama nya Karine. Mengingat masih ada tugas menjemput Nasta dari sekolah dan antar les. Tapi suami memutuskan untuk berangkat kerja setelah Nasta pulang les, maka saya pun akhirnya nemenin Nara nonton. Dan saya menikmatinya :D 

Karena sudah tahu jalan cerita, saya sangat menikmati artistik, wardrobe, dan hal lain yang tidak berhubungan dengan jalan cerita. Kasarnya, ga pake mikir deh. Termasuk saat .... Pangeran Kit muncul dan bikin saya melotot.... kagum. Masyaa Allah... ada ya mahluk Allah ganteng begini... wkwkwkwkw.... 

Kali kedua hari ini, nemenin Nasta yang waktu itu belum  nonton. Alhamdulillah ada rejeki. Dan saya pun tidak menolak hehehe... Kali ini.. saya lebih fokus dengan ... Pangeran Kit atau nama aslinya Richard Madden. Pfewww... maafkan saya suami ku... hihihihi.... 

Bisa ga ya dia diairkerasin lalu kirim ke rumah saya? Wkwkwkwkw....

#postinganiseng 



Sunday, March 29, 2015

Harapan Atau Tuntutan?

Menjadi seorang Ibu dan mengharapkan anak-anak nya menjadi anak yang sholeha, santun, mandiri dan bertanggung jawab dengan diri sendiri tentulah sangat wajar. Baik pula akhlak dan akidah nya. Ahh.. nikmat sekali rasanya. Dan siapa yang dapat nama? Orang tua tentu ;) 

Tapi sudahkah saya sebagai Ibu, dan suami sebagai Ayah memberikan contoh seperti yang diharapkan diatas? Anak-anak mencontoh perilaku orang tua, bukan mendengarkan apa yang seharusnya menjadi harapan orang tua. 

Don't get me wrong, maksudnya gini. Berharap, berdoa, tentu boleh dan bahkan sangat diwajibkan. Hubungan orang tua dengan anak itu mutual simbiolisme dalam hal doa mendoakan kok. Anak mendoakan orang tua, orang tua mendoakan anak. Bahkan doa anak yang sholeh / sholeha menjadi penolong kita sebagai orang tua di akhirat kelak. 

Tetapi terkadang saya sebagai Ibu suka lupa, besar kemungkinan karena telat belajar bahwa anak-anak punya jiwa sendiri. Mereka ingin diakui keberadaannya, tanpa dibanding-bandingkan. Saya suka khilaf. Kalau lagi sadar, ya sadar untuk tidak membebani anak-anak. Tapi... itulah.. perlu banyak berlatih untuk selalu sadar. 

Harapan atau tuntutan? Tipis sekali perbedaannya. Yang membedakan adalah ego. Mengharapkan anak-anak mendapatkan nilai terbaik, tapi saat mereka tidak mendapatkan nilai terbaik (menurut saya), disitulah ego saya berbicara. Padahal mereka sudah berusaha keras. Berusaha keras menurut mereka. Nah tuh kaaaan... ego saya lagi yang bicara. Apakah standard saya yang terlalu tinggi? Apakah saya menuntut lebih? 

Baiklah, saya tuturkan dulu "pembelaan diri" saya ini. 
Saya tahu anak-anak saya anak cerdas. Mereka bisa. Hanya saja mereka terlalu cepat puas dengan apa yang mereka sudah dapatkan. Dan yang saya harapkan adalah, mereka mampu mendapatkan apa yang mereka impikan. Tidak cepat puas. Menjadi yang terbaik dari yang terbaik. 

 
 

Friday, March 27, 2015

Laporan Pajak 2015



Selesai tugas tahunan, laporan pajak.

Kemaren ke KPP Depok, karena saya dan suami masih juga belum lulus untuk ngisi form pajak nya hehehe... Mengisi berlembar-lembar form, menulis aset dan hutang... Alhamdulillah masih punya aset rumah.. hehehe dan berharap akhir tahun, hutang kartu akan berkurang minimal 60% dari sekarang. Aamiin. Untuk hidup lebih baik, in syaa Allah.

Karena pekerjaan saya sebagai konsultan MLM Oriflame, dikenakan norma khusus MLM. Jadi dari total penghasilan saya pertahun, dikenakan 35% saja untuk setoran pajak. Suasana ruang konsultan KPP Depok di Jalan Pemuda tersebut cukup penuh, tapi teratur. Paling tidak, kami tidak antri lama. Dan pelayanannya sangat memuaskan. Ramah banget.

Tidak bisa langsung diserahkan, karena belum tulis NIK anak-anak yang ada di kartu keluarga.
Jadilah tugas saya lagi untuk cari booth pajak terdekat, Alhamdulillah sudah baca sebelumnya ada di Giant Metland Transyogi. 

Setelah antar anak-anak sekolah, saya mampir ke Fresh Market untuk sarapan dengan beberapa teman. Untungnya nanya lagi arah posisi Metland. Hehehe.. rasanya saya emang pernah lewatin, bertahun-tahun lalu saat ke Mekarsari. Tapi ga inget lagi. Desi, teman saya bilang, lewat pintu Montreal aja nanti ketemu jalan yang ke Bekasi, ambil kanan, lalu ambil kiri arah Metland. Ga sampe Cileungsi. Karena menjelang jembatan Cileungsi macet.
Agak-agak ga kebayang sebenernya, tapi tidak ada salahnya mencoba. Karena saya sudah ngebayangin macetnya jembatan Cileungsi itu duluan :D 

Dan ternyata emang jauuuh lebih enak, dan lebih dekat. Alhasil jam 9 kurang sudah sampai depan Giant, bahkan parkiran Giant pun belum dibuka wkwkwk..
Setelah pintu parkir dibuka, dapat pula parkir VIP persis di depan pintu masuk Giant. Belum terlihat petugas pajak, jadi saya melipir ke toilet dulu. Alhamdulillah... pihak Giant mempersiapkan tempat untuk urusan pajak ini di dalam. Jadi adem deh. Sempet tergoda untuk jalan-jalan ke dalam, tapi mau cari apa? Lagipula, saya harus segera balik ke sekolah, karena dapat SMS dari guru nya Nara, masih belum sehat dia. 

Urusan pajak beres, saya langsung balik ke sekolah. Oh my.... macet menjelang terminal Cileungsi. Jarak 700 meter memakan waktu 30 menit.
Alhamdulillah, sudah selesai sebelum akhir bulan hehehe... (biasanya mepet banget)

Thursday, March 26, 2015

Peranan Suami Istri Dalam Rumah Tangga

Tuhan menciptakan setiap mahlukNya untuk berpasang-pasangan, saling melengkapi. Bukan untuk saling menandingi. 

Dalam sudut pandang ke-ideal-an, tugas seorang suami adalah menafkahi istri dan anak-anaknya. Dan memang sudah menjadi kewajiban. Tapi apa yang terjadi jika posisi suami sebagai pencari nafkah utama tidak maksimal? Dalam arti tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, bahkan untuk hal yang mendasar sekalipun? 

Jaman sekarang sudah banyak istri yang ikutan mencari nafkah, suka tidak suka, mau tidak mau. Ya harus kerja, supaya mencukupi kehidupan rumah tangga. Demikian alasannya. 

Contoh soal: suami seorang pegawai negeri misalkan, sedangkan anak-anak memerlukan biaya sekolah yang tidak sedikit, jadi lah istrinya sibuk mencari cara lain mendapatkan penghasilan tambahan. Daripada suami korupsi? :D 

Naudzubillah min dzalik.

Yang sering terjadi adalah, istri berpenghasilan lebih tinggi dari suami. Istri, merasa sudah ikutan cari duit, bahkan penghasilannya lebih banyak dari suami. Tapi sampai di rumah, suami tetap menyerahkan urusan rumah tangga seperti memasak, membereskan rumah, bahkan menemani anak-anak belajar, tetap istri yang kerjain. Suami? Nonton TV. 

Kebayang dong, sama-sama pergi dari rumah pagi hari. Seharian di kantor sibuk ngurusin pekerjaan, sampe rumah, ngurusin rumah tangga juga. Walaupun tau banget, bahwa memang itu adalah tugas utama sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anaknya. Tapi mana bantuan suami? Begitu mungkin yang ada dipikiran para istri. 

Belum lagi kalau ada keperluan biaya di luar biasanya, suami menyerahkan ke istri. Ya karena suami emang ga punya duit. Tapi, istrinya yang di suruh mikirin. Lah kok ya istri nya mau aja pusing mikirin sendirian. :p 

Sebelum saling menyalahkan niiih... yukk.. mundur dulu ke tahun-tahun masa pacaran. Hehehe....
Apakah suami sekarang pilihan sendiri, atau pilihan orang tua? 
Kalau jawabannya pilih sendiri, sudah tahu belum calon suami tipe giat pencari nafkah atau ................. seadanya? 
Kalau sudah tau bahwa calon suami pilihannya, bukan orang yang giat mencari nafkah, tapi masih mau menikah dengan dia, apa yang jadi kelebihannya? 
Pasti ada dong kelebihannya? 
Ooh.. ternyata calon suami itu rajin shalat, dan tidak pernah berkata kasar. OK. Nah, jadi ketauan kan, mau menikah dengan calon suami ini karena dia rajin shalat dan tidak pernah berkata kasar. 

Ada bagian lain yang harus "di isi" oleh istri, yakni giat cari duit tambahan. Kalau memang memiliki standard hidup yang berbeda dengan suami. 

Paham ya maksudnya? 

Kita nih, saat memilih pasangan hidup... pasti cek dulu dong plus minus calon pasangan kita? Bukan turun dari langit atau seperti membeli kucing dalam karung. Boooo... hari giniiiiiiiii! 

Satu hal yang pasti, kita tidak bisa mengharap : "dia akan berubah seperti yang saya mau" JANGAN! Akan sakit jiwa kalau harapan itu tidak terwujud :) 

Contoh nih, Anda sudah tau bahwa calon suami suka mukul. Hellooo... baru jadi pacar aja sudah suka mukul, apalagi setelah resmi dinikahin??? Berharap dia akan berubah setelah menikah? Ck ck ck .... 

Atau, anda sudah tau calon suami genit, pernah ketauan selingkuh. Jangan bangga kalau Anda dipilih jadi istri. Bukan berarti dia akan berhenti selingkuh. 

Jadi harus gimana dong? 

Pastikan mencari calon suami yang seiman dan beriman. :) 
Yang rajin shalat aja belum tentu paham agama, bagaimana dengan yang tidak rajin shalat? Terus, anak-anak mau diajari apa? 

Sudah terlanjur menikah dengan orang yang salah? 
Tanyakan ke diri sendiri, apakah Anda merasa nyaman dan tentram dengan kondisi rumah tangga Anda? Bukan di-nyaman-nyaman-in yah. Karena kalau di-nyaman-nyaman-in, seperti makan bola api. Suatu waktu akan meledak dan membakar Anda. 

Merasa agak kurang nyaman, tapi tidak ada niat untuk berpisah? Butuh keikhlasan yang luar biasa, butuh pembelajaran juga buat para istri yang memutuskan menjalani hidup seperti ini. Melengkapi kekurangan pasangan dengan ikhlas. Suami kurang taat beribadah, istri wajib belajar agama dan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Suami kurang giat mencari nafkah, istri turun tangan membantu perekonomian keluarga. 

Lah enak dong jadi suami nya? 
Gak ada yang enak atau tidak enak... masing-masing peran akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Jadi, kenapa kita tidak memainkan peranan kita menjadi apa yang sudah ditakdirkan Allah dengan baik. Sesuai arahan Allah? 

Dengan begitu, hidup akan menjadi lebih ringan. Karena semua yang dilakukan ikhlas karena mengharap ridho Allah SWT.